Aku Pergi Untuk Kembali

Waktu terus bergulir detik demi detik bahkan tahun demi tahun. Setiap langkah yang kutinggalkan menyimpan memori tersendiri sebagai pelajaran hidup mengarungi lautan kehidupan yang penuh tantangan.

Terkadang langkahku terasa berat terkadang pula susah dikendalikan. Ku coba mensyukuri apa yang ada karena hidup adalah anugrah.

Sebagai orang kampung yang madesu ( masa depan suram)  sebenarnya tidak suram - suram banget tetapi setidaknya mencari penghidupan yang lebih layak lebih baik serta mencari pengalaman hidup. Setidaknya dengan pernah bergaul,  bertemu dengan orang lain diluaran kita akan lebih dewasa menyikapi masalah yang kita hadapi.

Aku coba mengangkat koper keluar rumah dan meneduh di tempat tetangga. Menghirup sejuknya udara dan merasakan butiran beras milik tetangga. Rasanya memang berat pada awalnya apalagi sebelumnya suapan demi suapan diberikan saat makan dan kini harus mengais - ngais sendiri dari butir ke butir beras yang lain. Kehangatan rumah yang penuh selimut kasih sayang hilang sekejap sedangkan harus menyelimuti dinginnya suasana dengan apa yang ada. Mulutnya bebas bertutur kata tanpa ada pagar pembatas dalam setiap ucap dengan sanak saudara tapi saat di tetangga harus mengikat semua kata dalam bahasa manis,  sopan penuh makna menundukkan kepala sebagai tanda hormatnya.

Butiran beras yang kukais dengan cucuran kringat yang membasahinya terasa lebih nikmat,  legit dan mengeyangkan. Saat dirumah butiran itu sepiring penuh tak membuatku kenyang tapi saat ku kais sendiri seperes piring membuat aku kenyang karena aku ingat kucuran keringat asin yang keluar dan memandikan. Aku mampu mensyukuri pengorbanan ibu bapakku saat membesarku betapa beratnya caranya mengerti aku yang belum tentu aku mengerti mereka. Kini aku tahu mereka berdua bisa mengerti seluruh anak - anaknya tapi belum tentu seluruh anaknya mengerti mereka. Kasih sayang tulus yang diberikan tak dapat ku balas dengan apapun bahkan nyawaku sekaligus. Hitungan materi dapat dihitung secara matematis tapi teresan air susu yang mengalir dalam tubuhku tak dapat aku hitung. Aku mengerti semua itu tapi aku masih belum mengerti dengan diriku yang tak bisa mengerti dengan yang apa aku tahu.

Ternyata banyak hal yang aku tahu dari luar rumahku. Ingin ku gapai langit yang tinggi agar aku bisa melihat bawahnya langit. Tapi aku tak mampu menggapainya , sekian lama kucoba sekian usaha semua sia - sia.
Aku kembali kerumah orang tuaku bukan emas permata yang kubawa tapi justru nyawa yang kupersembahkan untuk mereka. Dulu sesuap nasi untukku aku minta namun kini tiga suap nasi yang kuminta. Anak apa aku ini,  usia mereka semakin senja rambut memutih kulit keriput tapi aku yang kuat masih minta digendong dan dinina bobokkan. Pengalaman apa yang didapat dari tetangga kalau masih menjadi beban mereka. Aku ingin menangis tersedu - sedu tapi apakah masih pantas, aku besar berotot tapi aku tak bisa mengangkat ringanya mereka yang tinggal tulang berselimut kulit. Aku itu anak seperti apa? Sungguh tak berarti dan bermakna,  inikah balas peluk lembut dan hangat nereka?.
Aku nyakin pasti jaya saat aku dirumah dan mampu memberikan pandangan indah untuk mereka dirumah mereka. Sungguh bangga mereka jika langit yang digapai dapat mereka saksikan lebih bangga lagi jika kita naikkan mereka dalam langit kita dan lebarkan bibir mereka dengan senyum kebahagiaan.
Kini rumahku adalah rumah mereka senyumku adalah senyum mereka dan herihku adalah bukan jerih mereka. Surgaku adalah mereka
Jalanku adalah doa mereka
Ibu,  ibu,  ibu , bapak aku kembali kerumahmu. Aku tetaplah anakmu yang belum engkau sapih dari air susumu. Sedemikian pula saat tanah sudah membungkusmu aku tetap aliran darahmu. Biarkan aku menggapai langit tinggi dalam doa dan restumu agar surga tetap dapat kuraih.

Terima kasih kau terima aku kembali dirumahmu.

Popular posts from this blog

Istilah - istilah Gay Sekedar Tahu

Pasar Manuk atau Pasar Burung Muntilan , Pasar Klitikan

Viar Motor Roda Tiga Penumpang Asli Dari Viar ( wong deso )