KISAH KSATRIA UTAMA LOWANO dan Di Lestarikan dengan Ilmu Bela Diri Merpati Putih
Gagak Handoko,the last duke of Lowano. Lahir tatkala bhumi mataram terkoyak oleh serakahnya kolonialisme belanda ditingkah perebutan tahta mataram,ya ia lahir saat perjanjian Giyanti tahun 1755 membelah negeri mataram dari rahim seorang putri keturunan Amangkurat Agung yang kemudian dikenal dengan sebutan Nji Djojorejoso istri ksatria Lowano seorang ahli pemerintahan di jamannya yaitu Adipati Gagak Kumitir II
Gagak Handoko oleh ayahnya dipersiapkan menjadi ksatria pilih tanding, setia pada negara dan menjadi pembela kebenaran. Di usia mudanya bersama sama saudara-saudaranya Gagak Wilogo ( penguasa bhumi Winong), Gagak Taruno ( penguasa alas jati bagelen ) serta gagak- gagak yang lain digembleng olah brata kanuragan oleh Ki Sambidjojo atau Ki Kasan Kesambi untuk menjadi pendekar sakthi mandraguna.
Selepas gemblengan itu para Gagak melakukan olah tapa ing ngrame yaitu melakukan laku prihatin sembari hidup bermasyarakat ( mengembara ), Gagak Handoko muda melawat ke utara bhumi bagelen, Gagak Wilogo melawat ke bagian barat sedangkan Gagak Taruno tetap bertempat di Lowano untuk membantu sang Ayah Adipati Gagak Kumitir dengan mengelola hutan jati di wilayah bagelen untuk menyuplai kebutuhan kayu jati susuhunan.
Gagak Handoko mendirikan sebuah padepokan kanuragan di gunung jeruk ( wonosobo?) Ia mengembangkan ilmu beladirinya yang sejatinya mirip taichi yaitu sebuah olah tenaga dalam yang mengedepankan pengendalian diri yang dikeluarkan menjadi energi serang yang luarr biasa ( kelak ilmu Gagak Handoko menjadi lestari dan dikenal dengan Ilmu beladiri MERPATI PUTIH)
Dalam ingatan tetua Gagak Handoko menjadi pendekar tak terkalahkan. Gagak Kumitir mangkat di penghujung berakhirnya revolusi prancis,dengan ditandainya kedatangan Raffles ke pulau jawa.
Waktu terus bergulir dua kerajaan di bekas mataram tetap terus dalam dunginnya hubungan terus menggelorakan persaingan.
Puncaknya pada tahun 1825 perang Jawa pecah. Wilayah wilayah mataram kembali bergolak. Perlawanan pangeran Ontowiryo yang didukung rakyat merembet kemana mana,dan tidak hanya wilayah Yogyakarta saja yang menjadi huru hara perang namun pertempuran menggejala dan terus menyeret wilayah susuhunan di bagelen utara menjadi medan tempur yang dramatik.
Dalam kegalauan pemerintahan Lowano yang merupakan bagian Kasunanan mau tidak mau Gagak Handoko ikut dalam pusaran peperangan itu.
Di awal pertempuran ia bertindak sebagai penjaga marwah kasunanan di wilayah bagelen, namun dalam pertengahan masa perang seusai insiden pertempuran di selotihang, Gagak Handoko merasa bahwa ia berada di pihak yang keliru.
Kesadaran spiritual islaminya merubah langkah perjuangannya untuk berjuang di bawah panji khalifatullah panatagama yaitu Perjuangan Diponegoro. Kembali Gagak Handoko menjadi tulang punggung kekuatan pasukan sang pangeran, yang sempat membuat koyak dan kocar kacir tentara kapten Clerrens dan pasukan Surakarta di bawah Pangeran Kusumayudha. Kembali akibat kesaktiannya Gagak Handoko menjadi lawan belanda yang diperhitungkan.
Namun jalam sejarah berkata lain. Sang pangeran ditangkap dengan muslihat licik di Magelang. Pun juga Gagak Handoko dikalahkan dengan intrik halus tak kentara
Di awal tahun 1831 peperangan besar mereda, Gagak Handoko kembali pulang dalam keadaan pihak yang kalah, peta negeri telah berubah banyak, Kadipaten miliknya telah dilebur menjadi negeri baru bernama Purworejo, walaupun ia sempat diangkat oleh Tjokronegoro sebagai kepala distrik Loano,Gagak Handoko bergeming pengangkatan itu bukanlah sebuah kemuliaan, namun tak lebih sebagai upaya mengkerdilkan seorang ksatria utama, bagaimana tidak? Seorang Adipati yang kalah perang diangkat menjadi menjadi sebatas kepala Distrik yang ditempatkan di wilayah bekas kekuasaannya? Bukankah itu tak lebih dari penghormatan yang asor (jawa -dikalahkan)?.
Di penghujung karir politiknya Gagak Handoko memilih menarik diri, ia kemudian menyepi di pesanggrahannya di Dusun Turusan yang kelak dikenal dengan Rumah Pasepen dan ia mengakhiri hayatnya dalam kedamaian di tempat itu, kemudian di makamkan masih di wilayah setempat atau yang kemudian kita kenal dengan makam leluhur Gagak Handakan. Ia mangkat dalam kehormatan seorang pejuang perang jawa. Beliaulah GAGAK HANDOKO Adipati Lowano yang terakhir.
(Tulisan sudah pernah dipublikasikan 2 tahun yang lalu dengan beberapa revisi, rawatruwat 220521)
Comments